Pada tahun 1917, sebuah Klub Diskusi (Studieclub) di HBS Surabaya menggelar diskusi. Di saat diskusi sedang berlangsung, seorang pemuda berusia 16 tahun meminta kesempatan untuk berbicara. Moderator membolehkan.
Si pemuda tadi, dengan emosi yang menggelora, langsung melompat ke atas meja. Lalu, ia memulai orasi politiknya dengan menggunakan bahasa bumiputera. Moderator langsung menegur, “sudah menjadi aturan di Klub ini untuk berbicara bahasa Belanda yang baik.”
Pemuda itu membantah. “Saya tidak setuju,” katanya. Dia pun membeberkan alasannya: “Tanah kebanggan kita ini dulu bernama Nusantara, yang berarti ribuan pulau. Banyak pulau-pulau ini lebih besar dari negeri Belanda. Jumlah penduduk negeri Belanda hanya segelintir dibandingkan dengan penduduk kita. Bahasa Belanda hanya dipergunakan oleh 6 juta orang….mereka tinggal ribuan kilometer dari sini, mengapa kita harus berbicara bahasa Belanda?”
Diskusi menjadi buyar. Pemuda tadi ngotot menganjurkan agar Klub Diskusi menggunakan bahasa Melayu, bahasa negerinya, bukan bahasa Belanda. “Marilah kita bersatu mengembangkan bahasa Melayu. Kemudian baru menguasai bahasa asing,” tuturnya.
Tingkah laku pemuda itu, juga sikapnya yang ngotot menggunakan bahasa Melayu, segera menjadi pusat perhatian. Direktur HBS Surabaya, Tuan Bot, segera menudingnya sebagai “pencari masalah”. Dan, pemuda itu bernama Soekarno.
Itulah debut politik pertama Soekarno. Kendati demikian, ia sudah lama mengunyah banyak pemikiran politik. Saat itu, sebagai pelajar HBS di Surabaya, Soekarno indekos di rumah HOS Tjokroaminoto, tokoh terkemuka dari pergerakan “Sarekat Islam”. Rumah HOS Tjokroaminoto sering menjadi tempat konsolidasi kaum pergerakan. Tokoh-tokoh pergerakan, seperti Sneevliet (tokoh komunis), Semaun, Musso, dan Alimin, sering bertandang ke sana. Soekarno menyebut rumah HOS Tjokroaminoto sebagai “dapurnya api nasionalisme”.
Selain itu, di waktu senggangnya, Soekarno rajin mengunjungi perpustakaan milik perkumpulan Theosofi. Di sanalah ia mengakrabi bacaan-bacaan mengenai tokoh besar dunia, seperti Thomas Jefferson, Abraham Lincoln, Mazzini, Cavour, Garibaldi, Otto Bauer, Marx, Friedrich Engles, Lenin, Rousseu, Jean Jaures, dan lain-lain.
Persinggungan Soekarno dengan HOS Tjokroaminoto membuatnya dekat dengan tokoh-tokoh Sarekat Islam (SI). Pada tahun 1921, Soekarno sudah menulis di koran SI: Oetoesan Hindia. Di setiap artikelnya Soekarno menggunakan nama samaran: Bima. Di koran itu Soekarno menulis sekitar 500 artikel dan komenta
0 komentar:
Post a Comment